Setidaknya ada dua kerajaan yang nggak
bisa ditaklukkan oleh Majapahit yakni Pajajaran dan Pagaruyung. Ya,
Maha Patih Gajah Mada dengan Sumpah Hamukti Palapa-nya memang ingin
membangkitkan kembali negeri Atlantis yang hilang. Penaklukan Kerajaan
Pajajaran gagal, malah terjadi peristiwa yang sangat memilukan di
lapangan Bubat, rombongan pengantin dari tanah Sunda itu habis dibantai
prajurit Majapahit.
Lalu bagaimana dengan penaklukan Kerajaan Pagaruyung di tlatah Swarnadwipa alias Pulau Emas alias Sumatera itu? Gagal maning son (entah
duluan yang mana, peristiwa Bubat dulu atawa datang ke Pagaruyung).
Dari peristiwa di Kerajaan Pagaruyung inilah lahir sebuah legenda asal
mula nama Minangkabau.
~oOo~
Arkian, telik sandi Pagaruyung berlari
tergopoh-gopoh melaporkan kepada panglimanya, jika dalam waktu 2 pekan
ke depan prajurit Majapahit akan tiba di perbatasan kerajaan. Melihat
pasukan yang demikian banyak, dapat dipastikan kalau Majapahit hendak
menyerang Pagaruyung. Apalagi sepak terjang Majapahit dalam menaklukkan
negeri lain sudah menyebar seantero dunia.
Maka, informasi penting itu segera
sampai di telinga Baginda Raja Pagaruyung. Ungkapan musuh pantang
ditolak, jika pun datang pantang ditolak menjadi motto
semangat prajurit Pagaruyung. Namun, sebagai raja yang arif dan
bijaksana, Baginda tak mau gegabah dalam menentang pasukan Majapahit
yang terkenal sangat tangguh itu.
Ia berpikir, bagaimana supaya peperangan nanti tidak memakan korban yang banyak? Mungkinkah?
Maka Baginda mengumpulkan para
penasihat dan panglima kerajaan untuk menyusun strategi perang. O,
semua strategi perang yang diusulkan semua akan memakan korban dan
menyengsarakan rakyat Pagaruyung. Kemudian, salah seorang penasihat
yang sedari tadi diam saja angkat tangan untuk memberikan sebuah usulan.
“Apa usulmu, Datuk Kyainyo?” tanya Baginda Raja.
“Dengan cara diplomasi, Bagindo….,” jawab Datuk Kyainyo mantap.
Secara panjang lebar Datuk Kyainyo
memaparkan rencananya. Semua yang hadir sepakat dengan strategi yang
akan dilaksanakannya itu. Baginda Raja sangat senang dan berharap
rencana mereka dapat berjalan lancar.
~oOo~
Maka, hari yang ditunggu-tunggu itu
tiba. Pasukan Majapahit mendirikan perkemahan di tapal batas Kerajaan
Pagaruyung. Dari kejauhan, penjaga perkemahan melihat iring-iringan
puluhan orang menuju perkemahan pasukan Majapahit. Semakin mendekati
perkemahan, sosok puluhan orang itu terlihat semakin jelas. Orang-orang
itu berpakaian adat Kerajaan Pagaruyung, terdiri dari para gadis nan
elok dan pemuda nan rupawan. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki tua,
namun ia masih nampak perkasa.
Penjaga itu segera melaporkan apa yang
ia lihat kepada panglimanya. Sebagai pasukan yang terlatih, para
prajurit Majapahit segera bersiap siaga mengantisipasi apa yang akan
terjadi. Panglima bergegas mendekati lelaki tua, pimpinan rombongan
dari Kerajaan Pagaruyung.
“Kisanak, siapa kalian kok berani-beraninya mendekati perkemahan kami? Tahukah kalian, siapa kami?” kata panglima Majapahit jumawa.
“Kami datang ke sini untuk menyambut
kedatangan tamu agung dari Majapahit. Selamat datang ke negeri
Pagaruyung, Tuan. Mohon maaf jika sambutan kami kurang berkenan di
hati,” kata pimpinan rombongan dari Pagaruyung, yang tak lain adalah
Datuk Kyainyo.
Panglima Majapahit heran sekali dengan sambutan yang sangat hangat itu. Apakah orang-orang ini nggak paham, kalau kedatangan pasukan Majapahit hendak menyerang Pagaruyung?
~oOo~
Datuk Kyainyo dan rombongan mengantar
Panglima Majapahit dan para pengawalnya ke istana untuk bertemu dengan
Baginda Raja Pagaruyung.
Di istana, sambutan Baginda Raja
membuat kikuk Panglima Majapahit. Betapa tidak, suasana istana tiada
terlihat adanya ketakutan kalau mereka akan diserang oleh pasukan
Majapahit.
“Baginda, maksud kedatangan kami membawa pesan Maha Patih Gajah Mada. Pagaruyung harus menjadi bawahan Majapahit. Nekjika
Baginda menolak, dengan terpaksa kami akan menggunakan jalan
peperangan. Pasukan kami telah siaga di tapal perbatasan,” akhirnya
Panglima Majapahit tak tahan juga untuk menyampaikan tujuannya.
“Begini Panglima. Salam hormat kami
kepada Maha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk yang perkasa. Kami
negeri yang berdaulat, tak akan tunduk pada keinginan Majapahit.
Tantangan Majapahit kami terima dengan lapang dada, namun….,” Baginda
Raja jeda sejenak.
Baginda Raja lalu menawarkan
pertarungan adu kerbau sebagai pengganti peperangan antara prajurit
Majapahit melawan Pagaruyung. Semua itu dilakukan untuk menghindari
pertumpahan darah prajurit dan rakyat Pagaruyung. Sungguh di luar
dugaan, Panglima Majapahit sepakat dengan tawaran Baginda Raja.
“Tapi ada syaratnya, Baginda!” tukas Panglima Majapahit.
“Apa itu?” tanya Baginda, terkejut.
“Karena Majapahit kerajaan besar, kerbau jagoan kami harus lebih besar dari pada kerbau aduan milik Pagaruyung!” sahut Panglima.
Deal! Pucuk dicita ulam pun tiba. Sejauh ini, masih sesuai skenario dari rencana yang disusun oleh Baginda Raja dan para penasihatnya.
~oOo~
Dua kerbau siap diadu di tapal batas
Pagaruyung. Kerbau milik Majapahit sangat besar, dengan tanduk yang
melengkung besar. Sementara, kerbau milik Pagaruyung jauh lebih kecil,
tanduknya belum tumbuh sempurna. Siapa pun akan menjagokan kerbau
Majapahit yang akan memenangkan pertarungan.
Benarkah?
Kerbau kecil itu sangat
lincah. Ia selalu bisa menghindar saat tanduk kerbau besar hendak
menyeruduknya. Hal itu membuat heran para prajurit Majapahit, karena
mereka berharap kerbau besar jagoannya segera merobohkan kerbau kecil.
Mereka salah duga. Pada saat yang tepat, kerbau kecil berhasil
menancapkan tanduknya ke perut kerbau besar. Gerakan yang sama
dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya kerbau besar terkapar di
tanah. O la la, tak ada yang menyangka kalau sebetulnya kerbau kecil
itu sebelumnya telah dilatih untuk bertarung1.
Teriakan rakyat Pagaruyung membahana di
sekitar tempat pertarungan dua kerbau, ”manang kabau…. manang kabau…
manang kabau…..!” Panglima Majapahit mengaku kalah dan memerintahkan
pasukannya untuk kembali ke Majapahit dengan lapang dada.
aku pulang….. tanpa dendam…. kuterima…. kekalahanku….2
‘Manang kabau’ atawa kerbau yang menang menjadi pembicaraan seantero negeri Pagaruyung. Lama kelamaan pengucapan ‘manang‘ berubah menjadi ‘minang‘ dan sejak itu wilayah di mana tempat bertarungnya dua kerbau dinamakan Nagari
Minangkabau. Untuk mengenang peristiwa tersebut rakyat Pagaruyung
membangun sebuah rumah berloteng yang atapnya menyerupai tanduk kerbau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar